Dalam malam yang sunyi, aku menolak hadirnya cahaya mentari pagi. Mengolah kebahagiaan sepi pada deretan lampu jalan raya. Berlomba-lomba dengan suara dengungan sayap nyamuk yang tak pernah jemu-jemu menghisap darah. Si begal pori-pori tak pernah tuntas sebelum lambung terisi penuh. Ketika purna tugas penghidupannya. Ia akan dengan bangga mengelus lembut perut buncitnya. lambang kemerdekaan yang serak.
Di jalan kesendirian yang tersudut pantulan cahaya temaram. Terkadang diri takut bersanding mesra dengan hamparan awan yang bertabur kilau mutiara, meski berbuah kemegahan yang semu. Jiwa mati berharap di ijinkan melangkahkan kaki pada jalan yang berlumpur. Menyelami setiap gugusan keringat yang tumpah di jala para nelayan. Menghampiri pelukan hangat kampung halaman. Menebus dahaga dengan mata terbuka.
Cahaya lampu malam dengan cepat bisa ku genggam sendirian, Namun silau matahari yang jauh di pandangan ingin sekali menggapai bersama-sama. Hinaan bercampur fitnah menjadi satu menampar goresan luka lama yang terpendam. Jeritan dendam yang menyala berseloroh halus dengan membisu dan menghilang. Tetes air hujan kembali hadir menepuk kesabaran.
Langkah kaki terdiam dengan bibir merah merekah, menunduk tersipu malu melanjutkan langkah kaki seakan melayang tak meninggalkan jejak suara. Seketika ulangan setiap adegan demi adegan muncul memberikan gambaran detail peristiwa, lukisan mata terulang pertama, disusul goresan merah merona, seperti lambung terendam kopi, setiap bayangan menambah tusukan nyeri kerinduan.
Menepis tuntas hikayat keindahan kuno. Berkumur buih ketenangan. berkembang menjadi bayang-bayang. Bintang yang bersinar dengan bijak menyampaikan berita lara. Sinar mentari tak pernah ingkar, ia hadir dengan pongah. Mencukur aura kelam dengan tajam. Angin laut menepi tak kuasa menahan panas daratan. Aku masih di sini menikmati kesendirian. Menggadaikan martabat sembari latihan menjadi budak layanan media sosial.
Salam.
Paciran. 1 juli.